Jumat, 26 Juni 2015

Masalah Pendidikan Sebabai Masalah Sosial



A.      Hakikat Pengertian Manusia
Hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia di dunia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia menjadi apa yang terwujud, “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik yang khas “sesuatu yang olehnya” ia merupakan sebuah nilai yang unik, yang memiliki suatu martabat khusus[1].
Manusia menurut ilmu sosiologi, manusia adalah makhluk hidup, dan kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari hidup berkelompok. Manusia sejak lahir sudah membutu
hkan kelompok atau orang lain. Kelompok sosial itu harus dipandang sebagai tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan biologis.[2]
Manusia menurut ilmu filsuf, manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, dan dengan berpikirnya manusia menunjukkan eksistensinya dan perannya. Pikiran manusia tidak ubahnya seperti bibit atau benih tanaman jika benih ini tumbuh di tempat yang subur, maka akan menghasilkan buah yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi lingkungannya[3].
Menurut para filsuf bahwa manusia lahir dengan potensi kodrat berupa cita, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan nilai keindahan. Sedangkan karsa adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan nilai kebaikan. Dengan ketiga potensi itu manusia selalu terdorong untuk ingin tahu dan bahkan mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan yang terkandung dalam segala sesuatu yang ada.
Selanjutnya, menurut para filsuf manusia merupakan makhluk yang berpengetahuan, juga sebagai makhluk yang berpendidikan. Dengan kemampuan pengetahuan yang benar, manusia berusaha menjaga dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perilaku sehari-hari, pengetahuan menjadi moral, dan kemudian menjadi etika kehidupan, sedemikian rupa sehingga perilaku adalah kecenderungan untuk dipertanggungjawabkan kelangsungan dan perkembangan hidup dan kehidupannya sepenuhnya.
Dengan pengetahuan dan pendidikan manusia menjadi makhluk yang berkebudayaan, dan berperadaban. Dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran baik yang universal, abstrak, teoritis, maupun praktis. Nilai kebenaran selanjutnya mendorong terbentuknya sikap dan perilaku yang arif dan berkeadilan.
Aspek-aspek hakikat manusia antara lain:
1.     Manusia sebagai makhluk tuhan. Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran dan penyadaran diri. Karena itu manusia sebagai subjek menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan sesuatu di luar dirinya.
2.     Manusia sebagai kesatuan badan dan roh. Terdapat paham mengenai aspek apakah yang esensial pada diri manusia, badannya atau jiwa/rohnya yaitu materialism, idealisme dan dualisme. 
3.     Manusia sebagai makhluk sosial. Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya. Oleh karena itu manusia adalah pribadi dan adanya pengaruh hubungan timbal balik antara individu dan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dan objek, melainkan subjek dengan subjek.
4.     Manusia sebagai makhluk individu. Manusia sebagai individu atau pribadi merupakan kenyataan yang rill dalam kesadaran manusia. sebagai individu manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manusia lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan subjek otonom
5.     Manusia sebagai makhluk berbudaya. Manusia memiliki inisiatif dan kreatif menciptakan kebudayaan, hidup berbudaya dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia, bahkan hakikat meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Manusia tidak lepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena dan bersama kebudayaan.
B.       Pengertian pendidikan
Pendidikan menurut undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS yaitu Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[4]
Pendidikan menurut John Dewey yaitu proses tanpa akhir. Dan pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental.[5] Menurut Immanuel Kant, Pendidikan adalah proses yang menjadikan manusia yang seutuhnya, artinya manusia hanya dapat menjadi manusia karena dan oleh pendidikan[6]. Dari pendapat Kant itu, dapat disimpulkan bahwa manusia yang tidak dikenalkan dengan pendidikan bukanlah manusia yang seutuhnya, artinya manusia tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia tanpa adanya pendidikan.
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[7]
C.        Sistem Pendidikan Nasional
Dalam pengertian umum yang dimaksud dengan sistem adalah jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerja sama untuk mencapai hasil yang diharapkan berdasarkan kebutuhan yang telah ditentukan. Secara teoritis, suatu sistem pendidikan terdiri dari komponen-komponen atau bagian-bagian yang menjadi inti dari proses pendidikan.[8]Adapun komponen atau faktor-faktor tersebut terdiri dari:
1.        Tujuan
Tujuan disebut juga cita-cita pendidikan berfungsi untuk memberikan arah terhadap semua kegiatan dalam proses pendidikan.
2.          Peserta didik
Fungsi dari peserta didik adalah sebagai objek dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Sebagai objek, peserta didik tersebut menerima perlakuan-perlakuan tertentu, tetapi dalam pendangan pendidikan modern, peserta didik lebih dekat dikatakan subjek atau pelaksanan pendidikan.

3.          Pendidik
Pendidik berfungsi sebagai pembimbing pengaruh, untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dan sekaligus sebagai pemegang tanggung jawab terhadap pelaksana pendidikan.
4.          Alat pendidikan
Maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berfungsi untuk mempermudah atau mempercepat tercapainya tujuan pendidikan.
5.          Lingkungan
Lingkungan yang dimaksudkan adalah lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat dalam proses pendidikan. Lingkungan berfungsi sebagai wadah atau lapangan terlaksananya proses pendidikan[9].
                Masing-masing komponen dalam sistem pendidikan yaitu saling terkait satu sama lain. Bagaikan motor, tidak akan berfungsi sebagaimana fungsinya jika salah satu komponen dari motor itu tidak ada atau rusak. Seperti itulah pendidikan setiap komponen di dalamnya memiliki peran yang sangat urgent sehingga dapat tercapai fungsi dan tujuan pendidikan.
D.      Hubungan Manusia Dengan Komponen-komponen Pendidikan
Pembahasan tentang manusia amat erat kaitannya dengan pendidikan. Pendidikan dilakukan oleh manusia untuk manusia. Yakni yang menyelenggarakan pendidikan, yang bertugas mendidik, yang mengolah administrasi pendidikan, yang menjadi subjek dan objek pendidikan adalah manusia. Oleh karena itu pemahaman tentang manusia yang berada dalam berbagai posisi tersebut menjadi penting.
Dalam merumuskan berbagai komponen pendidikan, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, kepemimpinan, pengolahan dan lingkungan senantiasa bertitik tolak dari pandangan atau pemikiran tentang manusia. Oleh karena itu menentukan tentang pandangan atau pemikiran tentang manusia ini menjadi amat penting.[10]
Hubungan antara konsep manusia dengan berbagai komponen pendidikan ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1.        Visi, misi, tujuan dan hakikat pendidikan
Visi adalah jawaban dari pertanyaan kita akan menjadi apa? Sedangkan misi adalah jawaban atas pertanyaan apa yang dikerjakan? Kemudian tujuan adalah jawaban dari pertanyaan apa yang kan kita capai? Dan hakikat adalah jawaban dari pertanyaan apakah esensi masalah tersebut?
Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan dengan mengacu kepada penjelasan tentang manusia dengan berbagai potensinya itu, maka visi pendidikan adalah perkembangan pembangunan yang berkelanjutan. Visi ini sejalan dengan konsep manusia sebagai makhluk budaya yang memiliki citra, rasa, dan karsa. Dengan mengembangkan pembangunan yang berkelanjutan atau penciptaan kebudayaan yang berkelanjutan, maka dapat merasakan manfaat dari pendidikan tersebut. Untuk mengukurnya, ada tiga pilar yang bisa digunakan. Pilar pertama, lembaga pendidikan seharusnya memberikan anak didiknya pengetahuan seputar profesi ke mana setelah lulus? Bekerja sebagai apa? Dengan cara ini anak dapat secara ekonomis memperhitungkan masa depannya. Pilar kedua, adalah kebudayaan dan kemanusiaan. Sebuah lembaga pendidikan seharusnya mampu membuat anak didik berkebudayaan, berdemokrasi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia yang kini ditegakkan di dunia. Karakter ini dapat tercermin dari hal kecil. Dalam mengambil keputusan strategis misalnya, maka sekolah yang baik akan melibatkan anak didik dan orangtuanya. Pilar ketiga, adalah ekologi dan lingkungan. Sebuah lembaga pendidikan seharusnya menangkap semangat zaman yang sangat memperhatikan kondisi bumi. Artinya, penggunaan energi harus dibatasi, informasi seputar penyakit seperti HIV/AIDS disampaikan, dan pengetahuan tentang pemanasan global diberikan. Arif Rahman dalam bukunya merancang masa depan anak “yang saya inginkan dari sekolah bukanlah mengembangkan kemampuan otak siswa saja, tetapi juga kekuatan sikap. Salah satu kekuatan sikap yang babak belur di Indonesia adalah masalah kejujuran.”[11]
Jika visi dicermati dengan seksama, tampak sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep manusia, yaitu sebagai makhluk yang harus bekerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan, harus mengembangkan citra, rasa, dan karsanya dengan berbudaya, memberikan perhatian dan kepedulian terhadap lingkungan nya, serta sebagai makhluk yang harus memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.
Sejalan dengan visi tersebut, maka yang harus dilakukan untuk menuju ketercapaian visi tersebut adalah 1) Mendekatkan diri anak secara spiritual kepada Allah, sehingga ia memiliki tujuan hidup jangka panjang, kehidupan yang bermakna, serta merasa diawasi oleh Allah Swt, senantiasa syukur dan ikhlas dalam menjalani kehidupan, baik dalam suka maupun duka. 2) Secara emosional membuat anak mempunyai kepribadian matang dan akhlak mulia. 3) Secara intelektual mencerdaskan dan memberikan keterampilan, serta 4) Secara sosial melati kemandirian dan menjadi anak warga negara Indonesia yang baik[12].
Sejalan dengan visi dan misi pendidikan tersebut di atas, maka tujuan pendidikan dapat dirumuskan sebagai usaha untuk mewujudkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang tergali, terbina dan terlatih potensi intelektual, spiritual, emosional, sosial, fisiknya, sehingga dapat menolong dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Dengan kata lain, bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya (insan kamil).
2.          Kurikulum pendidikan
Sejalan dengan konsep manusia, maka muatan kurikulum yang harus diberikan kepada peserta didik adalah mata pelajaran yang terkait dengan pengembangan intelektual dan keterampilan, materi yang terkait dengan pengembangan spiritual, materi yang terkait dengan pengembangan kecerdasan sosial, serta materi yang terkait dengan pembinaan fisiknya.[13]
Sehubungan dengan berbagai materi tersebut maka berbagai mata pelajaran yang harus diberikan kepada peserta didik adalah mata pelajaran yang terkait dengan pengembangan intelektual, seperti mata pelajaran logika, matematika, fisika, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya, berkenaan dengan materi yang terkait dengan pengembangan spiritual maka diberikan pelajaran agama, khususnya materi yang diberikan dengan keimanan, ibadah dan tasawuf. Adapun materi yang terkait dengan pengembangan emosional antara lain, mata pelajaran tentang estetika, sastra, akhlak mulia, khususnya tentang ajaran simpati dan empati. Dan pelajaran yang disajikan untuk Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah berbeda sehingga ada tingkatan yang membedakan pembelajaran itu.
3.          Metode proses belajar mengajar
Proses belajar mengajar pada dasarnya adalah kegiatan interaksi komunikasi antara guru dan murid dalam rangka menyampaikan ilmu pengetahuan, wawasan dan sebagainya. Proses belajar mengajar yang baik adalah proses belajar mengajar yang menyenangkan, menggairahkan mencerahkan dan efektif. Untuk itu diperlukan pemahaman karakter jiwa anak didik. Pemahaman terhadap konsep jiwa manusia sangat membantu dalam merumuskan konsep metode proses belajar mengajar. Di dalam psikologi misalnya dijumpai aliran nativisme yang menekankan pada segi-segi pembawaan yang dibawa sejak lahir; aliran empirisme yang menekankan pengaruh lingkungan; dan aliran yang menekankan perpaduan antara pengaruh dalam diri anak dan lingkungan sekitar. Dari beberapa teori tersebut, maka akan lahir metode dan pendekatan dalam kegiatan belajar mengajar. Dari segi nativisme, akan lahir pelajaran yang berpusat pada guru, dengan menggunakan metode ceramah, teladan, bimbingan, dan nasihat. Dari teori empirisme akan lahir pendekatan yang berpusat pada siswa dengan metodenya seperti pemecahan masalah, penemuan, penugasan, dan sebagainya. Selanjutnya teori konvergensi akan


                [1] Abu Bakar Maming, Landasan-landasan pendidikan dasar (Cet.1; Watampone: Cipta Restu, 2012), h. 1
                [2] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Ed. 1 (Cet.2;Jakarta:Rajawali Pers, 2013), h. 66
                [3] Ibid, h. 73
                [4] Republik Indonesia, Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Pasal 1; ayat 1
                [5] Op. Cit, h. 4
                [6]Sahabuddin, Mengajar dan Belajar, (Cet. 3; Makassar: UNM Makassar, 2007), h. 1
                [7]Hasbullah,  Dasar-dasar Pendidikan,  Ed.1, (Cet.4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005),  h. 4
                [8]Ibid, h. 123
                [9]Ibid, h. 123-124
                [10] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Ed. 1 (Cet.2;Jakarta:Rajawali Pers, 2013), h. 63
                [11] Ibid
                [12] Ibid, h. 89
                [13] Ibid, h. 90